Hukum Zakat
NAMA: Zainur Ahmad Ridho
NIM: 1860102222232
KELAS: HKI-3F
MATA KULIAH: Hukum Zakat
1. Pengertian Muzakki
2. Anak kecil dan orang gila yang memiliki harta, apakah wajib mengeluarkan zakat?
1. Adapun yang dimaksud dengan kewajiban bagi orang-orang tertentu untuk Mengeluarkan sebagian hartanya adalah para muzakki (orang yang berkewajiban Mengeluarkan zakat). Jumhur ulama menyatakan bahwa orang yang disepakati Wajib mengeluarkan zakat adalah merdeka, telah sampai umur, berakal dan nishab Yang sempurna. Sedangkan harta yang wajib dikeluarkan zakatnya yang Disepakati mayoritas ulama adalah emas, perak dan binatang ternak dan penuh Setahun dimiliki oleh muzakki1.
Hal itu, sudah banyak dijelaskan ulama fikih pada Umumnya. Terdapat hadits Nabi yang berbunyi, Rasullah SAW bersabda : “Zakat itu Diambil dari orang-orang kaya diantara mereka dan dikembalikan kepada orangorang fakir diantara mereka” (Hadits At-Tirmidzi, Kitab ke4, Bab 454).Menurut pendapat lain, Muzakki adalah orang yang dikenai kewajiban Membayar zakat atas kepemilikan harta yang telah mencapai nishab dan haul.Menurut UU No. 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, muzakki adalah ooran Atau badan yang dimiliki oleh orang muslim yang berkewajiban menunaikan Zakat2.
2. a) Anak kecil
Menurut bahasa (lughah), anak berarti keturunan yang kedua, dan kecil Berarti kurang besar dari pada yang biasa. Dalam Ensiklopedi Hukum Islam, anak Diartikan sebagai keturunan yang kedua, atau orang yang lahir dari rahim seorang Ibu, baik laki-laki maupun perempuan atau khunsa, sebagai hasil dari Persetubuhan antara dua lawan jenis.3
Menurut Mazhab Syafi’i, tindakan anak kecil (yang bersifat spekulatif), baik Sudah mumayyiz (yang tidak bersifat spekulatif) dapat dibenarkan apabila Mendapat persetujuan dari walinya. Akibat lain anak kecil yang berada di bawah Pengawasan wali, bahwa harta anak kecil itu tidak boleh diserahkan kepada Mereka. Harta anak kecil itu baru boleh diserahkan kepada mereka setelah anak Itu baligh (dewasa) dan cerdas. Hal ini tentu dapat diamati oleh wali, apakah Sudah pantas diserahkan atau belum. Sebab, adakalanya anak kecil itu belum tentu Cerdas atau mampu memelihara dan mengembangkan hartanya
Dalam sebuah riwayat, Nabi Muhammad SAW bersabda :
“Dari Abdurrahman bin Saib, sesungguhnya Umar bin Khattab r.a Berkata: kembangkanlah harta anak-anak yatim agar tidak habis Dimakan zakat.” (HR. Turmuzi).
Imam Syafi’i memahami hadits tersebut sebagai perintah wajib Mengeluarkan zakat bagi anak kecil, karena pada hakikatnya hukum diwajibkannya zakat adalah hak yang berupa harta bagi mereka yang berhak menerimanya dan betul-betul membutuhkannya. Jadi, tidak ada penghalang bagi anak kecil maupun orang gila, apabila mereka memiliki harta yang telah mencapai nisab. Sebagaimana wajibnya mereka menerima nafaqah guna memenuhi kebutuhan hidupnya.
Madzhab Syafi’i mengemukakan bahwa, yang menjadi ukuran adalah ketrampilan dalam mengelola harta dan kemampuannya terhadap agama. Apabila anak itu sudah baligh dan cerdas, maka status anak itu di bawah pengampuan sudah hilang dengan sendirinya, tanpa harus ditetapkan hakim; karena penetapan mereka di bawah pengampuan bukan melalui ketetapan hakim, maka pencabutan al-Hajr bagi mereka pun tidak perlu melalui ketetapan hakim.
Namun, menurut satu riwayat dari Mazhab Syafi’i, perlu ada penetapan dari hakim, yaitu pencabutan al-Hajr. Dengan demikian, peranan wali dalam hal ini sangat penting, termasuk mengenai persoalan hak anak itu. Segala tindakan yang berhubungan dengan harta anak itu, harus didasarkan atas kemaslahatan anak itu sendiri.5
B) Orang gila (majnun)
Dalam arti khusus, orang bermakna manusia, dan gila berarti sakit ingatan, sakit jiwa (sarafnya terganggu atau pikirannya tidak normal), berbuat yang bukan-bukan, tidak sehat/tidak waras pikirannya (otaknya terganggu). Jadi orang gila adalah seorang manusia yang mengalami sakit jiwa atau orang yang sakit ingatan
Menurut Imam Syafi’i, orang gila termasuk ke dalam kelompok al-hajru (pengampuan) karena mereka sama dalam hal kepemilikan, dan mereka berkuasa Penuh terhadap harta yang dimiliki. Sebagaimana orang yang sehat memberi Nafkah kepada yang membutuhkan, mereka juga berhak memberi. Keadaan otak Yang terganggu juga tidak menghalangi wajibnya hak hamba dengan jalan Hubungan manusia seperti memberi nafaqah, dan tidak ada perbedaan antara Keduanya (zakat dan nafaqah).
Nafaqah sebagai bentuk hubungan yang wajib bagi orang-orang yang sangat Membutuhkan dalam ikatan kekerabatan. Sedangkan zakat adalah bentuk Hubungan untuk orang-orang yang sangat membutuhkan dalam ikatan keagamaan. Ketika kewajiban sudah ditetapkan, maka bagi seorang wali mempunyai Kekuasaan untuk melaksanakan zakat
Daftar pustaka
1 T.M. Hasbi al-Shiddieqy (2006), Pedoman Zakat, cet. Kesebelas, edisi kedua (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra), 19
2Menurut Undang-undang No, 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat
3 Abdul Azis Dahlan, Ensiklopi Hukum Islam Jilid I, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), hlm. 112.
4 Ahmad bin Husin, Sunan Qubra…, hlm. 4
5 Muhammad bin Ahmad bin Rusyd al Andalusi, Bidayat al Mujtahid, Beirut-Libanon: Dar al Kutub al Islamiy, hlm. 334.
Komentar
Posting Komentar